Progeria merupakan penyakit
kesalahan kode genetik (terjadi mutasi), tepatnya kelainan protein (Lamin A) di
sekitar inti sel atau menurut para ahli lainnya kesalahan terdapat di kromosom
nomor 1, pada seseorang yang mengakibatkan penuaan dini sebelum waktunya.
Progeria terdiri atas dua jenis yaitu sindrom Hutchinson-Gliford (progeria masa kanak-kanak) dan sindrom Werner (progeria masa dewasa)
Progeria masa kanak-kanak atau yang disebut sebagai sindroma Hutchinson-Gliford ditandai dengan adanya kegagalan pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan. Tampak dengan jelas adanya ketidakseimbangan ukuran tubuh (kecil atau cenderung kurus), kulit terlihat keriput, pertumbuhan gigi terlambat atau bahkan tidak ada sama sekali, kemampuan bergerak sangat terbatas, dan beberapa ciri-ciri lainnya. Biasanya, penderita hanya sanggup bertahan hidup sampai awal usia remaja, rata-rata hingga usia 13-14 tahun.
Para penderita seringkali mengalami aterosklerosis progresif (kelainan penyumbatan pembuluh darah) seperti yang biasa tampak pada individu lanjut usia. Hal ini dapat mengakibatkan stroke atau serangan jantung yang berujung pada kematian. Hingga saat ini belum ditemukan pengobatan dan pencegahan yang tepat untuk penanganan kasus progeria ini.
Di Indonesia pun, penyakit Progeria sangatlah langka. Baru ditemukan seorang anak Indonesia yang mengalami nasib kurang beruntung itu. Anak itu bernama Wiradianty yang akrab dipanggil Ranti, yang saat ini telah beristirahat dengan tenang di pangkuan Tuhan Yang Maha Esa.
Eriyati Indrasanto, ahli genetika anak pada Rumah Sakit Harapan Kita, merupakan salah satu dokter yang menangani Ranti ketika masih hidup. Saat mulai berobat, Ranti kecil berusia tujuh tahun tiga bulan. Beratnya 10 kg dan tinggi 94 cm. Menurut Eriyati, di dunia hanya ditemui satu penderita Progeria di antara 250.000 kelahiran hidup. Meski begitu, ditemukan pula sebuah keluarga dengan lima orang anak yang seluruhnya adalah penderita Progeria. "Saat ini, di dunia baru tercatat 60 kasus," ujarnya. Penyakit ini pertama kali ditemukan di London, Inggris, pada 1752.
Anak penderita Progeria, pada umumnya, baru ‘disadari’ ketika melihat kondisi fisik anak tersebut setelah berumur setahun. Gejala utamanya, rambut rontok hingga botak, tubuhnya mengecil, dan ada kelainan serta perkembangan tulang yang tak sempurna. Indikasi lain, pembuluh darah di batok kepala terlihat jelas, kulit tak mulus, kuku menjadi rapuh, melengkung, dan kekuning-kuningan. Kaki pun mengalami pengeroposan. Selain itu, gigi tumbuh jarang. Bahkan, dalam beberapa kasus, gigi sama sekali tak tumbuh, seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Pada kasus Ranti, sang penderita pun mengalami gangguan pendengaran, katarak, serta gangguan pada limfa.
"Yang perlu mendapat perhatian adalah adanya penumpukan kolesterol di pembuluh darah, terutama di jantung dan usus," kata Eriyati.
Meski begitu, perkembangan otak dan kemampuan inteligensianya tak mengalami gangguan. "Kemampuannya sama dengan anak-anak lain seusianya," kata Eriyati. Hanya saja, kondisi tubuh Ranti tak memungkinkan penderita melakukan aktivitas sebanyak rekan sebayanya.
Menurut Eriyati, sampai sekarang masih belum ada terapi efektif untuk progeria. "Saat ini, penanganannya berdasar keluhan saja," katanya. Pengobatan memang masih jadi masalah. Hal ini dikarenakan penyebab penyakit Progeria sendiri pun masih jadi tanda tanya.
Sejumlah literatur menyebutkan, stroke bisa menyerang anak-anak progeria pada usia empat hingga lima tahun. Eriyati juga mengingatkan pentingnya perhatian terhadap jantung. "Tersumbatnya aliran darah ke jantung adalah penyebab utama kematian si penderita," ujarnya. Hingga saat ini, harapan hidup penderita "hanya" sampai 14 tahun. Lantaran keburu meninggal, barangkali ini alasannya mengapa para ahli genentika kesulitan melacak kaitan penyakit ini dengan faktor keturunan
Sangat disayangkan, ketika individu lain melewati penuaan secara perlahan sembari menikmati waktu hidup mereka, para penderita Progeria justru merasakan suatu hal yang di mana jam penuaan berputar dengan kecepatan amat tinggi, sehingga proses penguzuran berlangsung jauh lebih cepat daripada yang normal terjadi.
Asumsi yang diambil Krawetz yaitu semua gen yang berkaitan dengan proses penuaan adalah bagian dari respons normal karena suatu mekanisme kontrol telah hilang. Maka bila semua gen serempak “dipadamkan”, sehingga responsnya tadi terhenti, untuk dibiarkan berkembang normal, proses penuaan tidak akan terjadi.
Bila penanda progeria dapat ditemukan, Krawets akan mampu mencari jalan mematikan proses penuaan cepat akibat progeria. Jika berhasil, berarti telah ditemukan pula cara menghentikan semua jenis penuaan. Demikianlah, kiprah manusia dalam ilmu yang satu ini tak urung mengundang decak kagum.
Hanya saja, seperti yang tertulis di atas, Progeria belum dapat dicegah maupun diobati. Yang bisa kita lakukan bila dihadapkan dengan kasus seperti itu adalah tetap mendampingi dan memberi semangat kepada sang penderita. Bimbingan untuk membangun rasa percaya diri pun sangat dibutuhkan. Tak ketinggalan, satu hal yang utama dalam menghadapi kasus Progeria yaitu kesabaran, karena para penderita Progeria memiliki emosi yang cenderung tidak stabil. Sehingga emosi kita pun bisa saja ikut tidak stabil ketika kita menghadapi mereka.
Progeria terdiri atas dua jenis yaitu sindrom Hutchinson-Gliford (progeria masa kanak-kanak) dan sindrom Werner (progeria masa dewasa)
Progeria masa kanak-kanak atau yang disebut sebagai sindroma Hutchinson-Gliford ditandai dengan adanya kegagalan pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan. Tampak dengan jelas adanya ketidakseimbangan ukuran tubuh (kecil atau cenderung kurus), kulit terlihat keriput, pertumbuhan gigi terlambat atau bahkan tidak ada sama sekali, kemampuan bergerak sangat terbatas, dan beberapa ciri-ciri lainnya. Biasanya, penderita hanya sanggup bertahan hidup sampai awal usia remaja, rata-rata hingga usia 13-14 tahun.
Para penderita seringkali mengalami aterosklerosis progresif (kelainan penyumbatan pembuluh darah) seperti yang biasa tampak pada individu lanjut usia. Hal ini dapat mengakibatkan stroke atau serangan jantung yang berujung pada kematian. Hingga saat ini belum ditemukan pengobatan dan pencegahan yang tepat untuk penanganan kasus progeria ini.
Di Indonesia pun, penyakit Progeria sangatlah langka. Baru ditemukan seorang anak Indonesia yang mengalami nasib kurang beruntung itu. Anak itu bernama Wiradianty yang akrab dipanggil Ranti, yang saat ini telah beristirahat dengan tenang di pangkuan Tuhan Yang Maha Esa.
Eriyati Indrasanto, ahli genetika anak pada Rumah Sakit Harapan Kita, merupakan salah satu dokter yang menangani Ranti ketika masih hidup. Saat mulai berobat, Ranti kecil berusia tujuh tahun tiga bulan. Beratnya 10 kg dan tinggi 94 cm. Menurut Eriyati, di dunia hanya ditemui satu penderita Progeria di antara 250.000 kelahiran hidup. Meski begitu, ditemukan pula sebuah keluarga dengan lima orang anak yang seluruhnya adalah penderita Progeria. "Saat ini, di dunia baru tercatat 60 kasus," ujarnya. Penyakit ini pertama kali ditemukan di London, Inggris, pada 1752.
Anak penderita Progeria, pada umumnya, baru ‘disadari’ ketika melihat kondisi fisik anak tersebut setelah berumur setahun. Gejala utamanya, rambut rontok hingga botak, tubuhnya mengecil, dan ada kelainan serta perkembangan tulang yang tak sempurna. Indikasi lain, pembuluh darah di batok kepala terlihat jelas, kulit tak mulus, kuku menjadi rapuh, melengkung, dan kekuning-kuningan. Kaki pun mengalami pengeroposan. Selain itu, gigi tumbuh jarang. Bahkan, dalam beberapa kasus, gigi sama sekali tak tumbuh, seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Pada kasus Ranti, sang penderita pun mengalami gangguan pendengaran, katarak, serta gangguan pada limfa.
"Yang perlu mendapat perhatian adalah adanya penumpukan kolesterol di pembuluh darah, terutama di jantung dan usus," kata Eriyati.
Meski begitu, perkembangan otak dan kemampuan inteligensianya tak mengalami gangguan. "Kemampuannya sama dengan anak-anak lain seusianya," kata Eriyati. Hanya saja, kondisi tubuh Ranti tak memungkinkan penderita melakukan aktivitas sebanyak rekan sebayanya.
Menurut Eriyati, sampai sekarang masih belum ada terapi efektif untuk progeria. "Saat ini, penanganannya berdasar keluhan saja," katanya. Pengobatan memang masih jadi masalah. Hal ini dikarenakan penyebab penyakit Progeria sendiri pun masih jadi tanda tanya.
Sejumlah literatur menyebutkan, stroke bisa menyerang anak-anak progeria pada usia empat hingga lima tahun. Eriyati juga mengingatkan pentingnya perhatian terhadap jantung. "Tersumbatnya aliran darah ke jantung adalah penyebab utama kematian si penderita," ujarnya. Hingga saat ini, harapan hidup penderita "hanya" sampai 14 tahun. Lantaran keburu meninggal, barangkali ini alasannya mengapa para ahli genentika kesulitan melacak kaitan penyakit ini dengan faktor keturunan
Sangat disayangkan, ketika individu lain melewati penuaan secara perlahan sembari menikmati waktu hidup mereka, para penderita Progeria justru merasakan suatu hal yang di mana jam penuaan berputar dengan kecepatan amat tinggi, sehingga proses penguzuran berlangsung jauh lebih cepat daripada yang normal terjadi.
Asumsi yang diambil Krawetz yaitu semua gen yang berkaitan dengan proses penuaan adalah bagian dari respons normal karena suatu mekanisme kontrol telah hilang. Maka bila semua gen serempak “dipadamkan”, sehingga responsnya tadi terhenti, untuk dibiarkan berkembang normal, proses penuaan tidak akan terjadi.
Bila penanda progeria dapat ditemukan, Krawets akan mampu mencari jalan mematikan proses penuaan cepat akibat progeria. Jika berhasil, berarti telah ditemukan pula cara menghentikan semua jenis penuaan. Demikianlah, kiprah manusia dalam ilmu yang satu ini tak urung mengundang decak kagum.
Hanya saja, seperti yang tertulis di atas, Progeria belum dapat dicegah maupun diobati. Yang bisa kita lakukan bila dihadapkan dengan kasus seperti itu adalah tetap mendampingi dan memberi semangat kepada sang penderita. Bimbingan untuk membangun rasa percaya diri pun sangat dibutuhkan. Tak ketinggalan, satu hal yang utama dalam menghadapi kasus Progeria yaitu kesabaran, karena para penderita Progeria memiliki emosi yang cenderung tidak stabil. Sehingga emosi kita pun bisa saja ikut tidak stabil ketika kita menghadapi mereka.
MENGENAL
PENYAKIT PROGERIA
Menurut seorang dokter ahli : dr.
Eriyati Indrasanto, SpA, "Progeria atau penyakit penuaan dini adalah
merupakan suatu penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi (perubahan) gen.
Progeria bukan penyakit turunan dan tidak menular.
Selanjutnya dr. Eriyati Dr. Eriyati
Indrasanto, Sp.A, menjelaskan bahwa progeria adalah kelainan genetik yang
memang sangat jarang terjadi. Progeria berasal dari bahasa Yunani yaitu geras
yang berarti usia tua. Jadi si penderita mengalami penuaan dini dengan
kecepatan yang berkisar 4-7 kali lipat dari proses penuaan normal. Contoh
konkretnya, bila si anak yang mengalami progeria berumur 10 tahun, maka penampilannya
akan tampak seperti orang berusia 40-70 tahun! Artinya, semua organ tubuh si
bocah, termasuk organ pernapasan, jantung, maupun sendi-sendinya sudah
mengalami kerentaan.
Penderita progeria memang lahir
normal. Namun, di usia 6 bulan sampai 1 tahun, mulai terlihat tanda-tandanya.
Antara lain :
- rambut rontok yang tidak tumbuh lagi,
- kulit dan jaringan kulit menipis,
- kuku dan gigi tumbuh tidak baik.
Namun, secara mental, justru tidak
tua, termasuk mata. Intelegensi pun normal." Lebih lanjut Eri mengatakan,
berdasarkan buku-buku kepustakaan, secara statistik, umur rata-rata penderita
progeria adalah 14 tahun
Tentang pengobatan, Eri berkata,
belum ada obat untuk progeria. Pengobatan hanya simtomatik, yaitu berdasar
gejala yang timbul. "Misalnya sakit sendi, dikasih obat sakit sendi. Kalau
sakit panas, dikasih obat panas" katanya.
Menurut penjelasan ilmiahnya, lanjut
Eriyati, telah terjadi mutasi gen tunggal yaitu pada gen LMNA yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan protein lamin A dan lamin C. Protein ini bertugas
menstabilitasi selaput dalam dari inti sel (inner membrane). Diduga
ketidakstabilan karena mutasi itulah yang menyebabkan terjadinya penuaan dini
pada anak-anak penderita progeria. "Sayangnya, sampai sejauh ini hasil
penelitiannya masih sebatas itu."
Yang pasti, kata dokter spesialis
anak yang mendalami bidang genetika klinik ini, mutasi gen bisa terjadi pada
siapa saja. Prosesnya berlangsung secara sporadik atau bisa tiba-tiba muncul
dan dapat dialami siapa pun. "Tadinya ada yang menduga, penyakit ini
bersifat resesif. Artinya, didapat dari ayah-ibu yang mengandung gen yang
mengalami mutasi tadi. Toh, nyatanya pada mereka progeria tak muncul. Jadi, apa
penyebab pastinya masih diteliti," papar dokter dari RSAB Harapan Kita, Jakarta
ini.
Kasus progeria pertama kali
dikemukakan oleh Dr. Jonathan Hutchinson pada tahun 1886 dan oleh Dr. Hastings
Gilford sebelas tahun kemudian. Makanya penyakit ini sering disebut sebagai
Hutchinson-Gilford Progeria Syndrome (HGPS).
MENGENALI GEJALA KLINIS
PROGERIA
Progeria berbeda dengan
penyakit-penyakit lain yang biasanya sudah bisa terdeteksi saat masih bayi,
bahkan selagi masih dalam kandungan. Penyakit ini justru muncul setelah anak
berusia satu tahun. Tak heran kalau di rentang usia 0-1 tahun ia kelihatannya
normal-normal saja, baru selewat usia itu akan terlihat jelas proses
penuaannya. Eriyati sendiri tak mengetahui secara pasti kenapa penuaan tersebut
mulai terjadi di usia satu tahun dan bukannya kurang atau lebih dari angka tersebut.
Ahli neonatologi ini kemudian
menyebut beberapa gejala klinis progeria yang cukup membuat bulu kuduk
bergidik. Umpamanya, rambut yang semula lebat kemudian rontok dan tak tumbuh
lagi, pembuluh darah di bagian kepala tampak jelas, jaringan lemak di bagian
bawah kulit berkurang bahkan menghilang sehingga kulit menjadi keriput, dan
kuku tak tumbuh sempurna tapi tumbuh melengkung serta rapuh. Selain itu, ada
pengerasan di persendian, tulang patah atau retak yang tak kunjung sembuh
maupun pengeroposan tulang. Gigi geliginya terlambat tumbuh, bahkan ada juga
yang tak tumbuh sama sekali selain tak teratur susunannya.
Gejala yang bisa berakibat fatal
adalah jika mengalami kekakuan pembuluh darah. Terlebih bila kekakuannya
terjadi di pembuluh darah jantung, maka kemungkinan besar si penderita akan
mendapat serangan jantung atau stroke. "Pembuluh darah jantung mesti
diperhatikan karena menjadi penyebab utama kematian di kalangan penderita
progeria. Salah satu jalan keluarnya adalah operasi by pass."
Akibat adanya mutasi gen itu pula,
perkembangan tulang penderita progeria akan terganggu dan mengalami degenerasi
tulang. Dengan begitu, kalau dihitung-hitung pertumbuhan tulangnya cuma
setengah atau bahkan sepertiga dari pertumbuhan tulang anak normal seusianya. Makanya
kalau diperhatikan dengan saksama, yang bersangkutan akan terlihat seperti
orang yang sudah tua. Meski begitu, mata seorang penderita progreria tidak
pernah mengalami katarak layaknya kaum lanjut usia. "Kenapa bisa demikian?
Itu juga masih belum diketahui," tandas Eriyati.
Untungnya, faktor intelegensi atau
perkembangan kemampuan berpikir anak penderita progreria tidak terganggu. Hanya
saja secara psikologis, mungkin ia relatif sensitif karena merasa dirinya
berbeda dari teman-temannya atau tak bisa selincah anak seusianya. "Dia
hanya bisa melakukan permainan-permainan yang tak membutuhkan banyak tenaga
karena mudah capek."
Yang membuat hati miris, rata-rata
penderita progeria hanya bisa bertahan hidup hingga umur 14 tahun. Dapat
dihitung dengan jari penderita progeria yang bisa mencapai usia 20 tahunan.
"Mungkin hanya satu atau dua orang saja, karena organ tubuhnya seperti
orang tua. Coba 14 dikalikan tujuh, di usia itu kondisi tubuhnya sudah seperti
orang yang berusia 98 tahun."
Ciri lainnya adalah kuku melengkung
serta rapuh, pengerasan di persendian, pengeroposan tulang yang menyebabkan
tulang mudah retak atau patah, gigi terlambat tumbuh, merupakan tanda-tanda
penderita progeria. Padahal itu adalah gejala pada orang yang memasuki usia
lanjut.Gejala klinis yang terjadi pada penderita progeria di atas benar-benar
memilukan. Bagaimana tidak, semua gejala menyedihkan tersebut harus dialami
oleh bocah yang seharusnya dapat tumbuh dan bermain secara normal.